Salah satu gagasan besar penataan pengelolaan
Zakat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan menjiwai
keseluruhan pasalnya adalah pengelolaan yang terintegrasi. Kata “terintegrasi”
menjadi asas yang melandasi kegiatan pengelolaan zakat di negara kita, baik
dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di semua tingkatan maupun Lembaga
Amil Zakat (LAZ) yang mendapat legalitas sesuai ketentuan perundang-undangan
Integrasi dalam pengertian undang-undang berbeda
dengan sentralisasi. Menurut ketentuan undang-undang, zakat yang terkumpul
disalurkan berdasarkan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Melalui
integrasi pengelolaan zakat, dipastikan potensi dan realisasi pengunpulan zakat
dari seluruh daerah serta manfaat zakat untuk pengentasan kemiskinan akan lebih
terukur berdasarkan data dan terpantau dari sisi kinerja lembaga
pengelolanya. Secara keseluruhan pasal-pasal dalam Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah yang sedang disiapkan, memberi ruang dan jaminan bagi
terwujudnya pengelolaan zakat yang amanah, profesional, transparan, akuntabel
dan partisipatif.
Integrasi pengelolaan zakat menempatkan BAZNAS
sebagai koordinator. Peran koordinator merupakan satu kesenyawaan dengan
integrasi. Pengkoordinasian yang dilakukan BAZNAS inilah yang ke depan akan
mengawal jalannya proses integrasi dan sinergi dari sisi manajemen maupun dari
sisi kesesuaian syariah. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 6 dan 7
Undang-Undang No 23 Tahun 2011 sebagai dasar hukum yang memberikan ruang
terbuka kepada BAZNAS untuk menjalankan fungsi koordinasi. Ketika LAZ menjadi
bagian dari sistem yang dikoordinasikan BAZNAS, maka posisinya secara hukum
menjadi kuat, sehingga prinsip dan tuntunan syariah dalam Al Quran (QS At
Taubah 9 : 103 dan 60) dapat terpenuhi.
Para pengelola zakat perlu memahami lahirnya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang akan
dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang,
sejatinya bertujuan untuk menata pengelolaan zakat yang lebih baik. Penataan
sebagaimana dimaksud tidak terlepas dari kepentingan untuk menjadikan amil
zakat lebih profesional, memiliki legalitas secara yuridis formal dan mengikuti
sistem pertanggungjawaban kepada pemerintah dan masyarakat. Tugas dan
tanggung jawab sebagai amil zakat tidak bisa dilepaskan dari prinsip syariah
yang mengaitkan zakat dengan kewenangan pemerintah (ulil amri) untuk mengangkat
amil zakat.
Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
hadir untuk menata perkembangan perzakatan di negara kita. Namun perlu
diperhatikan bahwa perubahan BAZDA menjadi BAZNAS dan BAZDA Kecamatan menjadi
UPZ (Unit Pengumpul Zakat), memerlukan langkah adaptasi cukup mendasar pada
organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh Pemerintah. Di sisi lain LAZ juga
harus melakukan penyesuaian berkaitan dengan persyaratan lembaga, perizinan,
dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar