HIKMAH DAN MANFAAT ZAKAT
Zakat
adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan manfaat
yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang
berzakat (muzakki), penerimanya (mustahik), harta yang dikeluarkan
zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan. (Abdurahman Qadir, Zakat
Dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998, hlm. 82) Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut.
Pertama,
sebagai perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya,
menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi,
menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan
ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang
dimiliki. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surah at-Taubah:
103 dan surah ar-Ruum: 39. Dengan bersyukur, harta dan nikmat yang dimiliki akan semakin bertambah dan berkembang.
Firman Allah dalam surah Ibrahim: 7, Artinya: “Dan
(ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”
Kedua, karena zakat merupakan hak mustahik,
maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka
terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih
sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya
kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang
mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya
yang memiliki harta cukup banyak. Zakat
sesungguhnya bukanlah sekedar memenuhi kebutuhan para mustahik,
terutama fakir miskin, yang bersifat konsumtif dalam waktu sesaat, akan
tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara
menghilangkan ataupun memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi
miskin dan menderita. (Lihat berbagai pendapat ulama dalam Yusuf
al-Qaradhawi, Fikih Zakat, op. cit, hlm. 564) Kebakhilan
dan ketidakmauan berzakat, disamping akan menimbulkan sifat hasad dan
dengki dari orang-orang yang miskin dan menderita, juga akan mengundang
azab Allah SWT.
Firman Allah dalam surah An-Nisaa’:37, Artinya: “(Yaitu)
orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan
menyempurnakan karunia-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir [1] siksa yang menghinakan. “ [1]Maksudnya
kafir terhadap nikmat Allah, ialah karena kikir, menyuruh orang lain
berbuat kikir. Menyembunyikan karunia Allah berarti tidak mensyukuri
nikmat Allah.
Ketiga,
sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan
untuk berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, ia
tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi
kepentingan nafkah diri dan keluarganya.
Allah berfirman dalam al_Baqarah: 273, Artinya: “(Berinfaqlah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah,
mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu
menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.
Kamu kenal mereka dengan sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada
orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan
(di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Di
samping sebagai pilar amal bersama, zakat juga merupakan salah satu
bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam.
Melalui syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin dan
orang-orang menderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik. Zakat
merupakan salah satu bentuk pengejawantahan perintah Allah SWT untuk
senantiasa melakukan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Maa’idah: 2,
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa…”
Juga hadits Rasulullah saw riwayat Imam Bukhari(Shaih Bukhari,
Riyadh: Daar el-Salaam, 2000, hlm. 3) dari Anas, bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak
dikatakan (tidak sempurna) iman seseorang, sehingga ia mencintai
saudaranya, seperti ia mencintai saudaranya, seperti ia mencintai
dirinya sendiri.”